Kenapa Kita Sering Bilang Baik-Baik Saja Padahal Sebenarnya Tidak? Ini Jawabannya

Table of Contents
ilustrasi murung (unsplash.com/Mark Pan4ratte)

Pernah gak, kamu ditanya “gimana kabarnya?” dan tanpa pikir panjang jawab “baik”, padahal dalam hati rasanya justru sebaliknya? Hal ini bukan cuma kamu aja yang ngalamin, lho.

Banyak orang terbiasa menutupi perasaan aslinya dengan senyum dan kata “baik-baik saja”. Padahal di balik itu, ada stres, lelah, bahkan mungkin kesedihan yang dipendam.

Ada banyak alasan kenapa seseorang memilih berpura-pura kuat. Bisa karena takut terlihat lemah, gak mau dianggap mengeluh, atau sekadar gak ingin membebani orang lain dengan masalah pribadi.

Tapi tahu gak, kebiasaan ini ternyata bisa berdampak besar pada kesehatan mentalmu, lho. Berikut beberapa alasan kenapa kamu sering bilang “baik-baik saja” padahal enggak, plus pelajaran berharga di baliknya.

1. Takut dianggap lemah

Salah satu alasan paling umum adalah rasa takut terlihat rapuh di mata orang lain. Dalam banyak budaya, termasuk di Indonesia, mengeluh sering dianggap sebagai tanda kelemahan. Makanya, kamu mungkin merasa harus selalu tampil tegar biar gak dikira “gak kuat mental”.

Menurut psikoterapis Amy Morin, ada tekanan sosial yang besar untuk selalu terlihat positif, terutama di lingkungan kompetitif seperti dunia kerja atau pergaulan modern. Banyak orang takut kalau jujur soal perasaannya, mereka bakal dianggap tidak profesional atau terlalu sensitif. Padahal, mengekspresikan emosi justru bentuk keberanian, bukan kelemahan.

2. Gak mau bikin orang lain ikut khawatir

Kadang, alasan kamu menutupi perasaan bukan karena malu, tapi karena gak ingin bikin orang lain khawatir. Kamu mungkin berpikir, “Ngapain cerita, nanti malah bikin suasana makin berat.” Akhirnya, pilihan paling aman adalah tersenyum dan bilang semuanya baik-baik aja.

Padahal, menahan perasaan terus-menerus bisa bikin kamu makin tertekan. Penelitian dari Journal of Personality and Social Psychology menunjukkan bahwa menyembunyikan emosi secara berulang dapat meningkatkan risiko stres kronis dan menurunkan kesejahteraan emosional. Dengan kata lain, berpura-pura baik justru bikin kamu makin gak baik.

3. Terjebak dalam budaya toxic positivity

Kamu pasti sering dengar kalimat seperti “ayo, semangat!”, “pikir positif aja!”, atau “jangan sedih terus.” Kalimat ini memang terdengar baik, tapi kalau berlebihan bisa berubah jadi tekanan baru. Fenomena ini disebut toxic positivity, yaitu dorongan untuk selalu berpikir positif bahkan di situasi sulit.

Morin menjelaskan, terlalu sering menekan emosi negatif justru membuat seseorang kehilangan kesempatan untuk memproses perasaannya dengan sehat. Emosi seperti marah, sedih, dan kecewa sebenarnya punya fungsi penting, mereka jadi sinyal bahwa ada hal yang perlu diperhatikan dan disembuhkan.

4. Belum terbiasa mengungkapkan perasaan

Sebagian orang tumbuh di lingkungan yang tidak membiasakan untuk berbagi emosi. Mungkin dari kecil kamu sering dengar nasihat seperti “jangan nangis” atau “sabar aja, nanti juga lewat.” Akibatnya, kamu belajar untuk memendam perasaan dan menganggap itu cara yang paling aman.

Menurut penelitian dalam Emotion Journal, proses yang disebut affect labeling, alias memberi nama dan mengungkapkan emosi, bisa membantu seseorang mengatur emosinya lebih baik. Dengan kata lain, saat kamu bisa bilang “aku lagi sedih” atau “aku lagi cemas,” otakmu mulai menurunkan respons stres dan bikin kamu lebih tenang.

5. Belum menemukan orang yang bisa dipercaya

Gak semua orang bisa jadi tempat bercerita, dan itu wajar banget. Tapi sering kali, karena pengalaman buruk di masa lalu (misalnya pernah dihakimi atau diabaikan waktu jujur), kamu jadi enggan terbuka lagi.

Psikolog Dr. Don Meichenbaum, peneliti di bidang trauma dan resiliensi, menyebutkan bahwa berbagi pengalaman sulit dengan orang yang dipercaya bisa mempercepat proses pemulihan mental. Menurutnya, bukan masalah seberapa besar stres yang kamu alami, tapi bagaimana kamu memproses dan membagikannya. Saat kamu didengar tanpa dihakimi, otakmu merasa aman, dan dari situlah kekuatan baru mulai tumbuh.

6. Takut dianggap mengeluh

Banyak orang menyamakan kejujuran soal perasaan dengan keluhan, padahal keduanya berbeda. Mengeluh adalah berfokus pada masalah tanpa mencari solusi, sedangkan berbagi emosi adalah cara memahami diri dan mencari dukungan.

Amy Morin menegaskan, berbagi cerita bukan berarti kamu lemah atau manja. Justru saat kamu bisa membicarakan perasaan dengan jujur, kamu memberi ruang untuk diri sendiri bernapas dan pulih. Karena seperti kata pepatah, luka yang disembunyikan gak akan pernah sembuh.

7. Tidak menyadari kalau sebenarnya sedang tidak baik

Terkadang, kamu bilang “baik-baik saja” bukan karena ingin berbohong, tapi karena belum benar-benar sadar kalau sedang tidak baik. Hidup yang terlalu sibuk, tekanan dari pekerjaan, atau tanggung jawab pribadi bisa membuatmu mati rasa secara emosional.

Menurut riset dalam American Psychological Association, seseorang bisa kehilangan kepekaan terhadap stres karena terlalu lama berada dalam mode bertahan (survival mode). Dalam kondisi ini, tubuh dan pikiran fokus untuk “berjalan terus,” tanpa menyadari bahwa ada kelelahan emosional yang perlu diatasi.

Mengatakan “baik-baik saja” memang terasa lebih mudah daripada menjelaskan perasaan sebenarnya. Tapi seiring waktu, hal ini bisa membuatmu merasa semakin terisolasi dan kelelahan secara emosional. Coba mulai perlahan dengan jujur pada diri sendiri dulu, akui kalau kamu lagi gak baik, dan itu gak apa-apa.

Berbagi cerita dengan teman, keluarga, atau bahkan menulisnya di jurnal bisa jadi langkah awal untuk pulih. Karena seperti yang dikatakan Amy Morin, ada nilai besar dalam didengarkan. Saat kamu berani terbuka, kamu bukan hanya menyembuhkan diri sendiri, tapi juga memberi izin bagi orang lain untuk jujur tentang perasaannya.

Sumber: psychologytoday

Post a Comment