Psikolog Ungkap 4 Tipe Hubungan Kodependen dan Bahayanya

Table of Contents
ilustrasi hubungan kodependen (freepik.com/jcomp)

Dalam sebuah hubungan, kadang sulit untuk membedakan antara cinta sejati dan kodependensi. Hubungan yang sehat memberikan rasa aman dan kenyamanan, tempat di mana kamu bisa menjadi diri sendiri tanpa rasa takut.

Namun, hubungan kodependen sering kali terasa seperti berjalan di atas kulit telur, kamu terus-menerus mencari persetujuan pasangan dan hidup dalam ketakutan bahwa satu kesalahan kecil bisa menghancurkan semuanya.

Menurut penelitian yang dipublikasikan dalam International Journal of Mental Health and Addiction tahun 2018, kodependensi adalah masalah psikososial yang kompleks. Masalah ini mencakup tiga aspek utama: kurangnya rasa diri (sense of self) yang jelas, ketidakseimbangan emosional yang ekstrem, dan efek jangka panjang dari pengalaman masa kecil seperti kontrol atau pengabaian orangtua.

Dengan memahami dinamika ini, berikut adalah empat tipe hubungan kodependen yang sering terjadi beserta bahayanya.

1. Enabler dan transgressor

Pada tipe ini, ‘enabler’ adalah orang yang merasa bisa ‘memperbaiki’ pasangannya dengan cinta dan pengorbanan. Mereka sering kali mengabaikan perilaku buruk pasangannya, seperti penyalahgunaan alkohol atau ledakan emosi, demi menyelamatkan hubungan. Akibatnya, mereka sulit menetapkan batasan dan terus memaafkan, meskipun hal ini merugikan diri sendiri.

Misalnya, seorang pasangan yang berjanji akan berhenti minum alkohol setelah setiap insiden, namun terus mengulanginya. Enabler, yang ingin menghindari konflik, memilih untuk memaafkan dengan harapan bahwa situasi akan membaik. Siklus ini justru membuat kedua belah pihak terjebak tanpa solusi.

Bahaya utama dari pola ini adalah enabler kehilangan identitasnya sendiri, sementara transgressor gak pernah benar-benar menghadapi konsekuensi dari tindakannya. Hubungan menjadi gak sehat dan penuh konflik yang berulang.

2. Dominan dan submissive

Dalam hubungan ini, pihak ‘dominant’ merasa perlu mengontrol pasangannya untuk mengurangi rasa cemas dan ketidakpastian. Sebaliknya, pihak ‘submissive’ memilih untuk menuruti keinginan pasangannya demi menghindari konflik atau ditinggalkan.

Sebagai contoh, pasangan yang dominan mungkin menetapkan aturan tentang apa yang boleh dipakai, siapa yang boleh ditemui, atau bagaimana pasangannya menghabiskan waktu. Di sisi lain, pasangan yang submissive mungkin berpikir, “Ini karena dia peduli,” sambil menekan rasa frustrasinya sendiri.

Menurut penelitian tahun 2022 di Journal of Interpersonal Violence, pola dominant-submissive sering berakar dari kontrol psikologis orangtua selama masa kecil. Ketidakseimbangan ini menciptakan hubungan yang penuh tekanan, di mana satu pihak kehilangan rasa dirinya dan pihak lainnya merasa gak pernah cukup aman.

3. People-pleaser dan the critic

People-pleaser adalah tipe yang selalu berusaha menyenangkan pasangannya, bahkan jika itu berarti mengorbankan kebahagiaan mereka sendiri. Mereka percaya bahwa dengan selalu mengikuti keinginan pasangan, hubungan akan tetap harmonis. Namun, di balik sikapnya yang terlihat mudah setuju, mereka sering merasa gak dihargai.

Di sisi lain, the critic adalah pasangan yang sering memberikan kritik atau menahan persetujuan. Mereka mungkin frustrasi karena pasangannya gak pernah mengungkapkan keinginan yang sebenarnya. Sikap ini biasanya berasal dari rasa gak aman atau ketakutan akan kerentanan.

Contoh dinamika ini adalah ketika people-pleaser selalu menyetujui rencana yang gak disukai demi menghindari konflik. Namun, rasa gak nyamannya itu akhirnya terlihat, membuat the critic merasa marah atau bersalah. Pola ini menciptakan hubungan yang melelahkan secara emosional bagi kedua belah pihak.

4. Martyr dan beneficiary

Tipe ini melibatkan martyr yang selalu mengorbankan kebutuhan mereka sendiri demi pasangannya. Mereka mengambil tanggung jawab yang berlebihan, seperti mengelola keuangan atau pekerjaan rumah, dengan keyakinan bahwa ini adalah cara untuk mempertahankan hubungan.

Sementara itu, beneficiary menjadi bergantung pada pengorbanan martyr dan jarang menyadari ketidakseimbangan ini. Akibatnya, martyr sering merasa gak dihargai, tapi gak berani menyuarakan keluhan mereka secara langsung.

Misalnya, seorang martyr yang mengurus semua tanggung jawab rumah tangga mungkin merasa lelah dan frustrasi, tetapi tetap melanjutkan karena takut dianggap egois. Lama-kelamaan, ketegangan ini dapat menyebabkan kebencian yang merusak hubungan.

Hubungan kodependen kerap terlihat seperti cinta, tetapi sebenarnya dibangun di atas rasa takut, ketidakamanan, dan ketidakseimbangan kekuasaan. Mengenali tanda-tandanya adalah langkah pertama untuk keluar dari pola ini.

Namun, kesadaran saja gak cukup. Kamu perlu bekerja sama dengan pasangan untuk menciptakan komunikasi yang terbuka, menetapkan batasan yang sehat, dan membangun identitas yang kuat di luar hubungan.

Cinta yang sejati adalah yang membebaskan, menghormati, dan mendukung. Dan itulah cinta yang pantas kamu dapatkan.

Sumber: forbes

Post a Comment